<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d24262034\x26blogName\x3dPusdiklat+TLUP+12\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://paskibra.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttps://paskibra.blogspot.com/\x26vt\x3d2323061423954424520', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Monday, August 21, 2006

Jusuf Ronodipuro, Penyebar Kabar Proklamasi














Di negara dengan luas wilayah sebesar Indonesia, tentu bukan perkara mudah mengabarkan berita proklamasi ke seluruh penjuru Nusantara pada tahun 1945. Hanya radio lah yang bisa menjangkau seluruh pelosok negeri. Kala itu satu-satunya stasiun radio yang ada hanyalah Hoso Kyoku, milik Dai Nippon. Lalu bagaimana kabar kemerdekaan kita bisa disebarluaskan?

Adalah seorang pria muda bernama Jusuf Ronodipuro yang kala itu bekerja di Hoso Kyoku Jakarta (Radio Militer Jepang di Jakarta) yang mengumandangkan pesan penting tersebut. Ia menuturkan kisahnya.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jusuf muda yang bekerja sebagai reporter di Hoso Kyoku datang seperti biasa ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Utara. Suasana pagi itu tampak lain, beberapa orang Jepang yang bekerja di radio tersebut tampak bergerombol, mereka berbisik-bisik dalam suasana yang muram, bahkan gadis-gadis Jepang terlihat menangis.

Ternyata pada saat itu bom atom kedua sudah dijatuhkan di Nagasaki dan Jepang menyerah kepada Sekutu. Kabar tentang menyerahnya Jepang disampaikan oleh Mochtar Lubis yang juga bekerja di radio tersebut di bagian monitoring. Mochtar adalah satu-satunya orang Indonesia yang diizinkan mendengarkan siaran radio asing.

Merasa bahwa hal itu penting untuk disampaikan kepada teman-temannya yang biasa berkumpul di Menteng Raya 31, berangkatlah Jusuf mengendarai sepedanya untuk memberikan kabar kekalahan Jepang. Sampai di sana, ternyata mereka sudah mendengar kabar yang sama dari Adam Malik yang bekerja di kantor berita DOME.

Pada hari yang sama, Jusuf mendapat tugas untuk meliput kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta di bandara Kemayoran sepulang dari Saigon. Beberapa utusan golongan muda di antaranya Sukarni, Chairul Saleh, AM. Hanafi ikut menjemput dan mendesak Bung Karno dan Hatta agar segera menyatakan kemerdekaan.

Usaha Sukarni dkk tersebut gagal. Menurut penuturan Jusuf, saat itu Bung Karno hanya berkata, "Saudara-saudara tidak usah menunggu umurnya jagung, karena jagung sebelum berkembang kita sudah akan merdeka." Tidak ada penjelasan lain dari Bung Karno.

Sepulang dari Kemayoran, Jusuf mendapat pesan dari Sukarni agar merebut radio Hoso Kyoku karena akan ada pengumuman sangat penting. Tetapi di pintu masuk kantor tampak tentara Kempetai berjaga-jaga dan melarang orang masuk ke kantor. Karena Jusuf adalah karyawan, ia diizinkan masuk. Jusuf lalu menyampaikan pesan Sukarni itu kepada Bahtar Lubis yang sama-sama bekerja di bagian pengabaran (redaksi).

Diisolasi
Hari itu pimpinan Hoso Kyoku menyampaikan dua pengumuman kepada para karyawan. Pertama, para karyawan yang sudah di kantor dilarang keluar lagi dan yang di luar tidak diizinkan masuk. Kedua, siaran luar negeri dihentikan (mungkin agar berita kekalahan Jepang tidak sampai ke rakyat Indonesia).

Jadilah mereka semua diisolasi di kantor radio dan terpaksa bermalam di sana. Esoknya, hari Kamis 16 Agustus 1945 tidak ada kejadian berarti, siaran berjalan seperti biasa. Malam harinya ada sedikit keributan di depan kantor, ternyata Sukarni datang bersama beberapa orang Jepang tetapi dilarang masuk. Dari dalam mobil, Sukarni berteriak, "Tunggu, akan ada pengumuman penting," lalu ia pergi.

Di tempat lain, di sebuah rumah di Pegangsaan 56, tanggal 16 Agustus dini hari, selepas sahur, Sukarni dkk datang ke rumah Bung Karno. Mereka berusaha meyakinkan Bung Karno bahwa Jakarta tidak aman karena Jakarta akan menjadi lautan api, sehingga mereka ingin mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Kedua pemimpin tersebut setuju dan berangkatlah mereka menggunakan mobil ke Rengasdengklok. Hari itu tak hanya serdadu Jepang yang sibuk mencari Bung Karno dan Bung Hatta, para anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga mencari karena sedianya hari itu dilakukan rapat.

Malam harinya kedua pemimpin tersebut kembali ke Jakarta dan langsung melakukan rapat perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Mayda di Jalan Imam Bonjol No.1 dengan dihadiri anggota PPKI dan angkatan muda.

Kembali ke Jalan Medan Merdeka, hari Jumat 17 Agustus 1945, radio Hoso Kyoku tetap melakukan siaran seperti biasa. Jusuf dkk tidak mengetahui bahwa Indonesia telah menyatakan kemerdekaan karena komunikasi dengan dunia luar memang terputus.

"Siang itu beberapa mahasiswa kedokteran berhasil masuk ke lobi membawa kertas. Di tangga, pistol yang dibawa seorang mahasiswa terjatuh dan diketahui tentara Kanpetai. Mereka lalu ditendang dan diusir keluar," Jusuf mengenang. Kemungkinan mahasiswa tersebut membawa pengumuman proklamasi untuk disiarkan.

Sore hari, sekitar jam 17.30, ketika Jusuf sedang menyiapkan menu berbuka puasa, masuk seorang teman dari kantor berita Dome (Jusuf lupa namanya). Dengan pakaian kotor dan basah oleh keringat karena ia meloncati tembok belakang kantor radio, ia menyampaikan secarik kertas.

Secarik kertas bertuliskan tulisan tangan dari Adam Malik. Tertulis : "Harap berita terlampir disiarkan." Lampiran berita yang dimaksud adalah naskah proklamasi yang sudah dibacakan pukul 10 pagi.

Jusuf lalu berembuk dengan Bahtar Lubis dan beberapa orang lain tentang pesan penting tersebut. "Semua studio dan ruang kontrol dijaga oleh Kempetai, bahkan saat itu semua naskah siaran harus disensor dulu termasuk lagu-lagu. Lalu saya teringat studio siaran luar negeri yang sejak tanggal 15 sudah ditutup," ujar Jusuf.

Untunglah nasib baik berpihak kepada mereka, ternyata studio siaran luar negeri tidak dijaga. Dengan berhati-hati mereka menyelinap masuk ke dalam studio. Tepat pukul 7 malam, Jusuf siap di depan corong radio untuk menyampaikan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru Nusantara dan dunia.

Untuk menghindari kecurigaan Kempetai, siaran tetap berjalan seperti biasa, tetapi kabelnya tidak diteruskan ke pemancar. Karena sesungguhnya yang disiarkan adalah proklamasi yang dibacakan Jusuf dari studio siaran luar negeri. Selama 15 menit mereka melakukan siaran gelap.

Setelah itu mereka membereskan semuanya seperti sedia kala, menggulung kabel dan mematikan lampu ruang siaran, lalu kembali ke ruang redaksi dan berlaku seolah tidak terjadi apa-apa.

Kepala Nyaris Dipenggal
Tiba-tiba, Brak !!... pintu ruang redaksi ditendang.
Dengan wajah merah padam karena murka masuklah tentara Kempetai. Beberapa staf radio yang berada di ruangan tersebut lari kocar-kacir. Merek lalu menyeret Bahtar dan Yusuf ke sebuah ruangan. Di sana mereka menjadi bulan-bulanan kemarahan Kempetai, ditonjok dan ditendangi. Rupanya tentara Jepang baru tersadar bahwa Jusuf dkk berhasil lolos dari pengawasan dan melakukan siaran.

Tepat saat Kempetai hendak mengayunkan samurai ke leher dua orang itu, datang pimpinan radio Hoso Kyoku, antara lain Tomobachi dan Shimura. Mereka lalu berbicara dalam bahasa Jepang kepada para tentara. Selamatlah Jusuf dan Bahtar dari malaikat maut.

Malam itu pula, diumumkan penutupan radio Hoso Kyoku, semua karyawan diminta pulang. Sekitar pukul 10 malam, Jusuf mengendarai sepedanya hendak pulang ke rumah kosnya di bilangan Salemba. Baru beberapa meter dari kantor, ia hampir pingsan karena sakit, lapar dan emosi yang terkuras.

Tak kuat melanjutkan perjalanan, ia lalu mampir di rumah temannya, seorang pelukis, Basuki Abdullah di Gang Gambir Buntu. Di sana ia dipinjami baju karena bajunya compang-camping penuh darah, makan dan menumpang tidur.

Mendirikan Pemancar Radio
Paginya, Jusuf pamit pulang. Dalam perjalanan ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian kaki dan dada akibat diinjak sepatu lars tentara (sampai kini tempurung kaki Yusuf bengkok sehingga ia agak pincang saat berjalan).

Dari Gambir ia mengambil jalan melewati Diponegoro lalu memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter Abdulrahman Saleh di belakang RSCM (sekarang Jalan Kimia). Sambil diperiksa, Jusuf menceritakan kejadian yang dialaminya semalam.

Oleh Abdulrahman Saleh yang kerap disapa dokter Karbol, ia disarankan untuk membuat pemancar radio karena pemerintahan (yang baru berusia satu hari itu) membutuhkan radio sebagai sarana komunikasi pada rakyat.

Jusuf lalu mengontak seorang temannya yang bekerja di bagian gudang untuk mencarikan bahan-bahan untuk pemancar. Setelah alat-alat terkumpul, mulailah mereka merangkai pemancar radio. "Kami mengebor tiang-tiang dengan bor untuk gigi," ujarnya terkekeh.

Pekerjaan tiga hari tiga malam akhirnya selesai. Tapi timbul masalah baru, di manakah akan diletakkan pemancar itu ? Dokter Karbol menolak jika pemancar itu ditaruh di rumahnya karena khawatir oleh patroli Jepang. Jadilah ruang laboratorium dokter Karbol di RSCM menjadi studio darurat.

Untuk mencapai studio tersebut, mereka harus masuk dari belakang RSCM melewati kamar mayat yang baunya luar biasa busuk. Jusuf mengenang, sepulang siaran ia harus merendam bajunya selama dua hari agar baunya hilang. Meski darurat, tapi dari studio itulah Presiden Soekarno menyampaikan pidato-pidato untuk membangkitkan semangat kepada rakyatnya.

Selepas kemerdekaan bangsa ini yang tahun ini akan menginjak usia 61 tahun, kisah perjuangan Jusuf memang sering terlupakan dalam cerita-cerita sejarah revolusi, padahal berkat jasanya ia berhasil menyampaikan kabar kemerdekaan sampai ke negara-negara tetangga.

Terima kasih banyak Pak Jusuf...

Penulis: Lusia Kus Anna

Monday, July 17, 2006

The Five Principles Pancasila

(1) Belief in the one and only God (Ketuhanan yang Maha Esa)
This principle reaffirms the Indonesian people’s belief that God does exist. It also implies that the Indonesian people believe in life after death. It emphasizes that the pursuit of sacred values will lead the people to a better life in the hereafter. The principle is embodied in the 1945 Constitution and reads: "The state shall be based on the belief in the one and only God".

(2) Just and civilized humanity (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
This principle requires that human beings be treated with due regard to their dignity as God’s creatures. It emphasizes that the Indonesian people do not tolerate physical or spiritual oppression of human beings by their own people or by any other nation.

(3) The unity of Indonesia (Persatuan Indonesia)
This principle embodies the concept of nationalism, of love for one’s nation and motherland. It envisages the need to always foster national unity and integrity. Pancasila nationalism demands that Indonesians avoid feelings of superiority on the grounds of ethnicity, for reasons of ancestry and skin color. In 1928 Indonesian youth pledged to have one country, one nation and one language, while the Indonesian coat of arms enshrines the symbol of "Bhinneka Tunggal Ika" which means "unity in diversity".

(4) Democracy guided by the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst representatives (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan)
Pancasila democracy calls for decision-making through deliberations, or musyawarah, to reach a consensus, or mufakat. It is democracy that lives up to the principles of Pancasila. This implies that democratic right must always be exercised with a deep sense of responsibility to God according to one’s own conviction and religious belief, with respect for humanitarian values of man’s dignity and integrity, and with a view to preserving and strengthening national unity and the pursuit of social justice.

5) Social justice for the whole of the people of Indonesia (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
This principle calls for the equitable spread of welfare to the entire population, not in a static but in a dynamic and progressive way. This means that all of the country’s natural resources and the national potentials should be utilized for the greatest possible good and happiness of the people. Social justice implies protection of the weak. But protection should not deny them work. On the contrary, they should work according to their abilities and fields of activity. Protection should prevent willful treatment by the strong and ensure the rule of justice.

Pancasila Indonesia

Pancasila is the philosophical basis of the Indonesian state. Pancasila consists of two Sanskrit words, "panca" meaning five, and "sila" meaning principle.

History:
In 1945, facing the need to pull together the diverse archipelago, the future President Sukarno promulgated Pancasila as a recipe for Indonesian patriotism. The ideology was announced in a speech known as "The Birth of the Pancasila", in which Sukarno gave to the Independence Preparatory Committee on 1 June 1945 (Saafroedin Bahar et al 1992:65-72). He thus helped solve the conflict between Muslims, nationalists and Christians. The 1945 Constitution then set forth the Pancasila as the embodiment of basic principles of an independent Indonesian state.

Sunday, July 16, 2006

History and Name the Flag of Indonesia

Its colors are derived from the banner of the 13th century Majapahit Empire. These colors were revived by students and then nationalists in the early 20th century as an expression of nationalism against the Dutch. The red-white flag was flown for the first time in Java in 1928. Under Dutch rule, the flag was prohibited. It was adopted as the national flag on August 17, 1945, when independence was declared.


The official name of the flag is Sang Merah Putih ("The Red White") according to Article 35 of the 1945 Constitution. The flag is also called Sang Dwiwarna ("The bicolor") by the people. Sang Saka Merah Putih ("The Lofty Red White") refers to the historical flag (also called Bendera Pusaka (heirloom flag)) and its replica. The Bendera Pusaka is the flag that was flown in front of Soekarno's house a moment after he proclaimed Indonesia's independence on August 17, 1945. The original Bendera Pusaka was sewn by Mrs. Fatmawati Soekarno, and was hoisted every year in front of the presidential palace during the independence day ceremony. It was hoisted for the last time on August 17, 1968. Since then it has been preserved and replaced by its replica because the original flag was deemed to be too fragile.

The red stands for courage, while the white stands for purity. The red represents human's body or physical life, while white represents human's soul or spiritual life. Together they stand for a complete human being.